Dalam Bayang Pensiun Dini


Oleh: Danang Firmanto

(Momen ketika saya terbang menggunakan pesawat Airbus A330-300 rute Jakarta-Surabaya-Banjarmasin-Balikpapan-Ujung Pandang-Jakarta membawa puluhan ton kargo dalam waktu sehari. Sabtu, 27 Maret 2021/ Dokumentasi Pribadi.)

Tawaran program pensiun dini yang disampaikan jajaran direksi pada pertengahan Mei lalu sempat membuat saya dilema. Betapa tidak, karut-marut kondisi keuangan perusahaan dan beragam isu negatif membanjiri pikiran. Tak hanya soal dampak pandemi Covid-19, tumpukan utang puluhan triliun rupiah pun memaksa saya berpikir. Tentang bagaimana nasib perusahaan ini ke depan. Saat itu, yang terlintas hanya ada dua pilihan yaitu bertahan atau ambil.

Saya berulang kali membaca e-mail manajemen yang berisikan estimasi perolehan apabila memutuskan mengambil pensiun dipercepat. Enggak banyak sih (kok cuma segini ya hehe), karena memang masa kerjanya belum lama. Namun, dalam benak sudah ada sejumlah rencana jika opsi tersebut saya ambil. Seperti mencari pekerjaan lain, kembali berprofesi sebagai jurnalis, studi lanjut, hingga menikah dan hidup di kampung halaman. Kayaknya rencana terakhir boleh juga dipertimbangkan ya hehe.

Keluarga menjadi salah satu kawan diskusi intens sebelum saya memutuskan. Beberapa kali kami ngobrol melalui sambungan telepon seluler. Orang tua tampaknya kompak satu suara. Bapak menyarankan agar bertahan. Begitu pula Ibu, “Ditunggu dulu karena saat ini mencari pekerjaan juga susah.” Pada obrolan di lain waktu sebelum program pensiun dini ditutup, sikap mereka pun masih sama. “Di sana dulu aja,” kata Bapak.

Pada 19 Juni lalu, dengan segala pertimbangan akhirnya saya memilih bertahan setelah satu bulan program pensiun dini dibuka. Lewat tanggal itu, beredar nama-nama rekan kerja yang mengajukan purna tugas lebih awal. Agak terkejut. Sebab di antara seribuan orang yang tercatat mendaftar, beberapa adalah teman satu unit. Bahkan ada yang satu angkatan. Dalam hati saya bilang, “Duh, bagaimana ini kok pada ambil.” Meskipun masih banyak yang memilih bertahan seperti saya.

Momen ini spontan mengingatkan perjalanan saya mengikuti seleksi. Hari ini terhitung sudah 946 hari saya bekerja di Garuda Indonesia. Pada 26 November 2018 lalu adalah hari pertama saya bergabung di perusahaan pelat merah ini. Melalui seleksi yang panjang lebih dari 5 bulan, 26 orang terpilih melalui jalur management trainee. Dan pukul 07.30 WIB pada 30 Oktober tiga tahun lalu, kami bertemu dalam satu ruangan meneken perjanjian kerja. Setelah itu kami ditempa dalam program samapta bersama TNI di Waduk Jatiluhur sebelum akhirnya ditempatkan di berbagai unit kerja.

Melihat Garuda saat ini tak terlepas dari betapa panjang dan melelahkan pada masa seleksi sampai menjadi karyawan. Mulai dari saya memasukkan berkas lamaran pada 20 Mei 2018. Hingga 27 Oktober 2018 pengumuman lulus tahap akhir, medical check up. Masa iya sih, saya ambil pensiun dini dan keluar begitu saja? Rasanya, tawaran pensiun lebih awal hanya soal pilihan. Tidak bisa dinilai baik buruk atau benar salah. Pada akhirnya ini adalah tergantung keyakinan masing-masing.

Bagi saya, yang memutuskan mengambil pensiun dini adalah orang yang mau berkorban demi keberlangsungan perusahaan. Emmm, atau bisa jadi karena tergiur dengan uang pesangon yang ditawarkan ya. Kita enggak akan pernah tahu wkwk. Namun, mereka yang memutuskan bertahan belum tentu juga dianggap punya dedikasi dan loyalitas tinggi. Barangkali memang mereka belum mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik hehe.

Terlepas dari anggapan itu, saya percaya setiap karyawan memiliki pertimbangan matang untuk memilih pensiun dini atau bertahan. Dan kita tetap satu suara, apapun keputusan kita, Garuda Indonesia harus dipertahankan!

Baiklah, kita akhiri saja curhatan kali ini. Jangan terlalu serius bacanya, ya. Saya pribadi optimistis Garuda Indonesia akan terbang tinggi lagi. Mohon doa dan dukungan. Jangan lupa terbang dengan Garuda! Terima kasih sudah mau mampir ke blog saya. Nanti kita cerita-cerita lagi, ya.

2 thoughts on “Dalam Bayang Pensiun Dini

Leave a comment