Dalam Bayang Pensiun Dini


Oleh: Danang Firmanto

(Momen ketika saya terbang menggunakan pesawat Airbus A330-300 rute Jakarta-Surabaya-Banjarmasin-Balikpapan-Ujung Pandang-Jakarta membawa puluhan ton kargo dalam waktu sehari. Sabtu, 27 Maret 2021/ Dokumentasi Pribadi.)

Tawaran program pensiun dini yang disampaikan jajaran direksi pada pertengahan Mei lalu sempat membuat saya dilema. Betapa tidak, karut-marut kondisi keuangan perusahaan dan beragam isu negatif membanjiri pikiran. Tak hanya soal dampak pandemi Covid-19, tumpukan utang puluhan triliun rupiah pun memaksa saya berpikir. Tentang bagaimana nasib perusahaan ini ke depan. Saat itu, yang terlintas hanya ada dua pilihan yaitu bertahan atau ambil.

Saya berulang kali membaca e-mail manajemen yang berisikan estimasi perolehan apabila memutuskan mengambil pensiun dipercepat. Enggak banyak sih (kok cuma segini ya hehe), karena memang masa kerjanya belum lama. Namun, dalam benak sudah ada sejumlah rencana jika opsi tersebut saya ambil. Seperti mencari pekerjaan lain, kembali berprofesi sebagai jurnalis, studi lanjut, hingga menikah dan hidup di kampung halaman. Kayaknya rencana terakhir boleh juga dipertimbangkan ya hehe.

Keluarga menjadi salah satu kawan diskusi intens sebelum saya memutuskan. Beberapa kali kami ngobrol melalui sambungan telepon seluler. Orang tua tampaknya kompak satu suara. Bapak menyarankan agar bertahan. Begitu pula Ibu, “Ditunggu dulu karena saat ini mencari pekerjaan juga susah.” Pada obrolan di lain waktu sebelum program pensiun dini ditutup, sikap mereka pun masih sama. “Di sana dulu aja,” kata Bapak.

Pada 19 Juni lalu, dengan segala pertimbangan akhirnya saya memilih bertahan setelah satu bulan program pensiun dini dibuka. Lewat tanggal itu, beredar nama-nama rekan kerja yang mengajukan purna tugas lebih awal. Agak terkejut. Sebab di antara seribuan orang yang tercatat mendaftar, beberapa adalah teman satu unit. Bahkan ada yang satu angkatan. Dalam hati saya bilang, “Duh, bagaimana ini kok pada ambil.” Meskipun masih banyak yang memilih bertahan seperti saya.

Momen ini spontan mengingatkan perjalanan saya mengikuti seleksi. Hari ini terhitung sudah 946 hari saya bekerja di Garuda Indonesia. Pada 26 November 2018 lalu adalah hari pertama saya bergabung di perusahaan pelat merah ini. Melalui seleksi yang panjang lebih dari 5 bulan, 26 orang terpilih melalui jalur management trainee. Dan pukul 07.30 WIB pada 30 Oktober tiga tahun lalu, kami bertemu dalam satu ruangan meneken perjanjian kerja. Setelah itu kami ditempa dalam program samapta bersama TNI di Waduk Jatiluhur sebelum akhirnya ditempatkan di berbagai unit kerja.

Melihat Garuda saat ini tak terlepas dari betapa panjang dan melelahkan pada masa seleksi sampai menjadi karyawan. Mulai dari saya memasukkan berkas lamaran pada 20 Mei 2018. Hingga 27 Oktober 2018 pengumuman lulus tahap akhir, medical check up. Masa iya sih, saya ambil pensiun dini dan keluar begitu saja? Rasanya, tawaran pensiun lebih awal hanya soal pilihan. Tidak bisa dinilai baik buruk atau benar salah. Pada akhirnya ini adalah tergantung keyakinan masing-masing.

Bagi saya, yang memutuskan mengambil pensiun dini adalah orang yang mau berkorban demi keberlangsungan perusahaan. Emmm, atau bisa jadi karena tergiur dengan uang pesangon yang ditawarkan ya. Kita enggak akan pernah tahu wkwk. Namun, mereka yang memutuskan bertahan belum tentu juga dianggap punya dedikasi dan loyalitas tinggi. Barangkali memang mereka belum mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik hehe.

Terlepas dari anggapan itu, saya percaya setiap karyawan memiliki pertimbangan matang untuk memilih pensiun dini atau bertahan. Dan kita tetap satu suara, apapun keputusan kita, Garuda Indonesia harus dipertahankan!

Baiklah, kita akhiri saja curhatan kali ini. Jangan terlalu serius bacanya, ya. Saya pribadi optimistis Garuda Indonesia akan terbang tinggi lagi. Mohon doa dan dukungan. Jangan lupa terbang dengan Garuda! Terima kasih sudah mau mampir ke blog saya. Nanti kita cerita-cerita lagi, ya.

Sistem Nelayan Terintegrasi (SINERGI), Inklusi Keuangan UMKM Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan Pemanfaatan Finansial Teknologi


Oleh: Danang Firmanto

Foto contoh Tempat Pelelangan Ikan di Muara Angke, Jakarta Utara/Danang Firmanto

Pemanfaatan teknologi digital dan akses berbagai layanan keuangan formal (inklusi keuangan) pada bisnis pelelangan ikan di Indonesia masih sangat rendah. Kondisi ini tampak dari sedikitnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang sudah terintegrasi dengan sistem online. Sebagai contoh, penggunaan sistem online untuk usaha pelelangan ikan baru terwujud pada Juli 2019. Yaitu ketika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, meresmikan TPI online pertama di Indonesia yang terletak di Ciemas, Sukabumi, Jawa Barat.

Tempat Pelelangan Ikan online pertama di Indonesia tersebut mengangkat konsep pembayaran tanpa uang tunai (cashless payment). Selain itu transaksi jual beli antara nelayan dan pembeli dilakukan melalui finansial teknologi seperti skema transfer ke rekening, penggunaan mobile banking, dan lainnya. Di samping lebih praktis dan efisien, cara tersebut diharapkan mampu memotong praktik tengkulak yang selama ini merugikan nelayan.

Metode inklusi keuangan pada pelelangan ikan online dengan cashless payment lumrah digunakan di Eropa. Salah satunya di Stellendam, Belanda bagian selatan. Ikan-ikan hasil tangkapan dilelang via online oleh organisasi yang menaungi pelelangan ikan di sana (United Fish Auction/UFA). Beberapa jenis ikan seperti ikan turbot, flounder, lemon sole, cod fish, dan udang biasanya dilelang sejak pukul 7 pagi. Yang menarik, pembeli bisa mengikuti lelang di beberapa tempat. Tak hanya efisien, model lelang seperti ini juga meniadakan transaksi tunai yang kurang praktis.

Penggunaan metode pembayaran dengan uang tunai (cash) pada mayoritas TPI di Indonesia memang tidak efektif. Dari aspek fleksibilitas, transaksi menggunakan uang tunai kurang praktis dilakukan. Waktu yang diperlukan dalam setiap transaksi jual beli pun tidak efisien dibanding dengan transfer langsung ke rekening, ATM/kartu debit, atau uang elektronik (e-money). Belum lagi di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) ini, pertukaran uang tunai berpotensi menjadi media penyebaran virus. Maka dari itu, program inklusi keuangan sudah seharusnya diterapkan di bisnis pelelangan ikan.

Penulis memandang program inklusi keuangan dengan sistem digitalisasi sangat relevan diterapkan di setiap TPI. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 menyebutkan Indonesia memiliki 386 TPI. Dengan rincian sebanyak 174 TPI dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), 91 TPI dikelola Koperasi Unit Desa (KUD), dan 34 TPI dikelola swasta. Kemudian 17 TPI dikelola oleh Unit Pelayanan Terpadu Perdagangan (UPTP), 2 TPI dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan 68 TPI dikelola oleh pihak lain.

Berdasarkan cara pembayaran hasil penjualannya, 386 TPI tersebut memiliki skema masing-masing. Sebanyak 275 TPI menerapkan sistem pembayaran hasil penjualan secara kontan (140 TPI secara lelang dan 135 TPI tanpa lelang). Lalu 21 TPI menggunakan pembayaran secara berangsur (cicil) dan 77 TPI dengan cara dibayar kemudian. Adapun 13 TPI menggunakan skema pembayaran lainnya.

Penerapan inklusi keuangan bisa dilakukan secara bertahap dengan skala prioritas. Pertama dengan mengoptimalkan program tersebut kepada 275 TPI yang tersebar di Indonesia. Menyusul ke TPI lainnya yang belum memanfaatkan berbagai layanan keuangan/perbankan. Penulis menilai salah satu model inklusi keuangan yang tepat untuk TPI adalah dengan membentuk Sistem Nelayan Terintegrasi (Sinergi) dengan dukungan teknologi QR Code.

Sinergi Inklusi Keuangan dengan QR Code

Sistem Nelayan Terintegrasi merupakan model inklusi keuangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan memanfaatkan finansial teknologi dan sistem Quick Respond Code (QR Code) pada proses pelelangan ikan. QR Code merupakan teknologi penggunaan kode yang sudah lama diterapkan di Jepang. Cara kerjanya sangat sederhana namun efektif sebagai media penyimpan data. Pengguna tinggal memasukkan detail informasi untuk diformulasikan menjadi kode dalam satu kesatuan. Untuk membaca informasi tersebut, cukup dengan memindai kode pada smartphone.

Tak hanya itu, Sinergi juga bisa merangkul perbankan termasuk lembaga pendanaan UMKM berbasis finansial teknologi seperti Amartha untuk membantu bisnis pelelangan ikan di tiap-tiap TPI. Mereka bisa menawarkan berbagai kemudahan jenis inklusi keuangan bagi peserta lelang/pembeli dan nelayan selama bertransaksi. Adapun model inklusi keuangan pada usaha pelelangan ikan yang penulis usulkan secara detail sebagai berikut:

Secara umum proses lelang dapat dijelaskan dalam skema/alur gambar di atas. Ikan dari nelayan mulanya harus dikelompokkan berdasarkan jenis, ukuran, dan kualitas. Sebelum ikan siap dilelang, ikan harus ditimbang dan diberikan keterangan yang memuat informasi detail mengenai jenis ikan, berat, ukuran, kualitas, dan harga pembukaan lelang. Detail informasi inilah yang nanti akan dikonversi dalam bentuk QR Code tercetak.

Umumnya petugas lelang mencetak karcis yang akan diserahkan kepada pemenang lelang sebagai bukti untuk pembayaran. Menurut penulis, cara tersebut tidak efektif dan efisien. Ke depan petugas lelang tinggal memasukkan detail informasi ikan pada aplikasi pembuatan QR Code dan mencetaknya dalam bentuk label. Sehingga peserta lelang dapat mengetahui spesifikasi ikan setelah melakukan pemindaian QR Code di smartphone mereka.

Digitalisasi proses lelang tersebut akan memicu penggunaan berbagai layanan keuangan di bank. Sebab, peserta lelang wajib membuka rekening di bank baik konvensional maupun syariah. Mereka pun harus memiliki ATM/kartu debit dan menggunakan layanan online perbankan seperti mobile banking atau memiliki e-money sebagai alat pembayaran non tunai. Langkah tersebut dilakukan untuk mendorong program inklusi keuangan tercapai bagi seluruh pejuang kesejahteraan desa. Hal itu juga senada dengan target pemerintah mencapai angka inklusi keuangan 90 persen pada 2024.

Lebih lanjut, proses pembayaran oleh pemenang lelang kepada nelayan harus dilakukan secara cashless payment. Bisa dengan melakukan transfer ke rekening melalui ATM/kartu debit atau metode lain seperti internet banking/mobile banking. Dengan begitu, akuntabilitas dan transparansi selama transaksi di TPI akan terjamin. Pembeli/peserta lelang dan nelayan akan saling mendapat keuntungan. Praktik permainan harga oleh tengkulak yang selama ini masif juga dapat ditekan.

Sejumlah literatur membuktikan bahwa metode pembayaran non tunai akan berdampak baik bagi perekonomian Indonesia ke depan. Salah satunya hasil penelitian dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 8 No. 3, November 2019 yang dilakukan oleh tiga mahasiswa pascasarjana Magister Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Lampung ini.

Pembayaran non tunai dalam jangka panjang nilai nominal transaksi kartu debit/ATM, nilai nominal transaksi kartu kredit, nilai nominal transaksi e-money berpengaruh positif secara bersama-sama memberikan manfaat efisiensi dan peningkatan sektor riil dalam mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) dalam perekonomian Indonesia (Nursari, Suparta, dan Moelgini, 2019: 303).

Penulis berharap sebanyak 2,7 juta nelayan Indonesia (data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017) bisa menikmati manfaat inklusi keuangan dengan digitalisasi proses pelelangan ikan menggunakan finansial teknologi dan QR Code ini. Dengan Sinergi, penulis optimistis kesejahteraan nelayan dan perekonomian nasional bisa membaik.

Pembangunan Fasilitas Kesehatan di Pedalaman Jadi Prioritas


Oleh: Danang Firmanto

Sebuah perahu kecil bermesin (ketinting) bertuliskan “Puskesmas Binter” melintas di tengah Sungai Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, pada 6 Agustus 2016. Perahu berbahan bakar solar itu hanya ditumpangi 4 orang termasuk pengemudi. Dua orang di antaranya berpakaian serba putih. Mereka adalah petugas medis yang bekerja di wilayah perbatasan Indonesia, tepatnya di Puskesmas Binter, Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Wilayah pedalaman tersebut berbatasan langsung dengan Malaysia.

Setiap kali bertugas, para tenaga medis tersebut harus menaiki ketinting untuk sampai ke puskesmas. Tak jarang tempat tinggal mereka berada di kota yang berjarak puluhan kilometer dari puskesmas. Keterbatasan itu membuat pelayanan kesehatan di wilayah Nunukan belum sepenuhnya memadai. Apalagi jika terdapat penduduk yang sakit namun tinggal cukup jauh dari puskesmas atau pelayanan kesehatan tingkat pertama. Maka sudah dipastikan mereka harus bersabar untuk mendapatkan pelayanan medis.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, jumlah fasilitas kesehatan di keseluruhan wilayah Nunukan hanya sebanyak 235 unit. Terdiri dari 1 rumah sakit, 16 puskesmas induk, 1 klinik, dan 217 posyandu. Adapun khusus di wilayah Lumbis Ogong, hanya terdapat 1 puskesmas induk (Puskesmas Binter) dan 13 posyandu. Melihat kondisi demikian dapat dibayangkan betapa minimnya fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.

Pada awal Agustus 2016, saya berkesempatan berkunjung ke wilayah Nunukan, Kalimantan Utara. Saya melihat banyak ketimpangan terjadi di wilayah tersebut. Terutama fasilitas kesehatan dan fasilitas umum lainnya untuk kebutuhan warga di perbatasan. Padahal, wilayah perbatasan sangat krusial menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Selain karena potensi sumber daya alam yang melimpah, isu-isu wilayah perbatasan juga menjadi poin penting untuk dijaga.

Salah seorang warga yang saya temui bernama Julius (33 tahun) menceritakan beberapa hal kepada saya. Menurut dia, perhatian pemerintah pusat menjadi kunci di wilayah perbatasan. Sebab, selama ini justru dia mengaku banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah Malaysia. Mulai dari kemudahan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mata pencaharian, fasilitas pendidikan bagi anak-anak, hingga fasilitas kesehatan untuk warga Indonesia yang tinggal bersebelahan dengan Malaysia.

Bahkan, pemerintah Malaysia diduga sudah bertahun-tahun memberikan fasilitas kepemilikan kartu identitas penduduk Malaysia (IC) kepada warga Indonesia di perbatasan. Hal itu dibenarkan Julius. Menurut dia, kelebihan memiliki KTP Malaysia tersebut antara lain mereka akan menerima tunjangan pendidikan anak sekitar Rp 1,5 juta perbulan. Ada lagi tunjangan kesehatan, subsidi kepada para manula, serta tunjangan lain yang selama ini dianggap tidak pernah diberikan pemerintah Indonesia.

Padahal, kepemilikan KTP ganda itu jelas melanggar aturan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menegaskan bahwa seseorang tidak boleh memiliki dua kewarganegaraan. Akan tetapi, dugaan pemberian sejumlah fasilitas tersebut dibantah oleh pihak Malaysia. Seperti dikutip dari Tempo, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Seri Zahrain Mohamed Hashim membantah dugaan kemudahan memberikan IC kepada warga di perbatasan. Ia malah berjanji akan melaporkan ke penegak hukum bila ada pihaknya yang terbukti memberikan KTP Malaysia ke warga Indonesia di pedalaman Kalimantan. “Enggak ada buktilah, kalau ada bukti baru bisa saya laporkan,” kata dia.

Sejumlah media nasional pun melansir bahwa wilayah Nunukan merupakan daerah sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Desa Sumantipal misalnya, daerah tersebut merupakan wilayah yang pernah diklaim menjadi milik Malaysia. Ia masuk dalam kategori wilayah saling klaim alias outstanding boundary problem (OBP) antara Indonesia dan Malaysia. Mulanya batas itu adalah peninggalan damarkasi wilayah Inggris dan Belanda di Kalimantan. Pada 1891 dan 1928, mereka berunding menentukan batas wilayah. Dilanjutkan oleh Indonesia dan Malaysia pada 1975 untuk pemasangan pilar-pilar batas. Namun sebagian wilayah masih menjadi sengketa termasuk di dalamnya Sebatik.

Dalam pemberitaannya, Tempo menyebutkan Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Hadi Prabowo mengatakan Desa Sumantipal, Kabupaten Nunukan, termasuk dalam wilayah saling klaim atau outstanding boundary problem (OBP) Indonesia dengan Malaysia. Bahkan ia menyebutkan di sektor timur, total ada 5 wilayah OBP di antaranya Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Sumantipal, titik B 2700-B 3100, dan C 500-C 600.

Pembangunan Fasilitas Kesehatan

Menurut saya, apabila kondisi tersebut dibiarkan maka akan muncul potensi warga negara Indonesia akan lebih tertarik untuk berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia. Sebab, jarak wilayah penduduk yang tinggal di Lumbis Ogong atau Sumantipal ke Malaysia lebih mudah dijangkau daripada harus ke kota (Kabupaten Nunukan). Artinya adalah mereka tidak perlu mengeluarkan ongkos tinggi untuk pergi ke Malaysia membeli kebutuhan sehari-hari atau memeriksakan kesehatan.

Untuk itu, salah satu hal yang perlu diwujudkan adalah ketersediaan fasilitas kesehatan bagi warga di pedalaman atau perbatasan di Nunukan. Mengapa? Karena kesehatan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi bagi setiap orang. Terlebih di masa pandemi Covid-19 sekarang, kesehatan menjadi prioritas di atas kebutuhan lain.

Saya memandang Korindo Group bisa menjadi bagian dari upaya menjaga kedaulatan Indonesia di wilayah pedalaman dengan ikut membangun sarana kesehatan memadai. Seperti yang dilansir dari korindonews.com, Korindo Group telah berperan di beberapa daerah dalam pembangunan fasilitas kesehatan. Salah satunya adalah membangun Klinik Asiki di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Keberadaan Klinik Asiki akan berperan untuk membantu menurunkan tingkat kematian ibu hamil, ibu melahirkan, dan bayi baru lahir di wilayah tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretariat ASEAN, nilai Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia saat ini adalah terbesar kedua setelah Laos di antara negara-negara ASEAN lainnya. Nilai AKI di Indonesia mencapai 309/100.000 ibu melahirkan. Kasus kematian ibu hamil, melahirkan, serta bayi baru lahir di Indonesia ini pun sering terjadi di daerah yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan memadai. Tidak menutup kemungkinan itu juga terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia.

Menurut saya, seperti halnya di Papua, program dari Klinik Asiki pun relevan diterapkan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Nunukan. Yaitu untuk menjangkau para ibu yang ada di pelosok desa, petugas medis bisa menggunakan program Mobile Service yang bekerja sama dengan puskesmas setempat. Melalui Mobile Service ini, tim dokter mengunjungi para ibu yang berada di desa-desa untuk diberikan penyuluhan tentang Kesehatan yang Baik untuk Semua.

Dengan pembangunan sejumlah klinik baru di wilayah Nunukan maka secara perlahan kondisi kesehatan warga setempat membaik. Tidak ada lagi cerita bahwa warga yang sakit harus bersabar karena jarak tempuh ke fasilitas kesahatan jauh atau harus menunggu tim medis tiba ke rumah. Lebih lanjut, pembangunan fasilitas kesehatan di titik-titik di wilayah perbatasan akan menguatkan kedaulatan Indonesia. Sebab, warga perbatasan akan merasa bahwa mereka menjadi bagian penting dari bangsa Indonesia dan merasa semakin diperhatikan. Di samping itu, upaya-upaya pemberian kemudahan dari negara tetangga terhadap warga Indonesia dengan tujuan perebutan wilayah bisa dihindari.

Pembangunan Energi Listrik di Perbatasan Kunci Menjaga Kedaulatan


Oleh: Danang Firmanto

Sungai Sembakung, Nunukan, Kalimantan Utara. Foto/Danang Firmanto

Ingatan saya terlempar ke salah satu daerah yang pernah saya kunjungi di pelosok negeri. Ketika itu pada Agustus 2016, saya menginjakkan kaki di Tanah Borneo. Persisnya di Desa Sumantipal, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Wilayah yang dibelah oleh Sungai Sembakung itu berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia. Hanya 30 menit waktu yang diperlukan untuk sampai ke Malaysia menggunakan ketinting (perahu kecil bermesin).

Seperti desa tak berpenghuni, Sumantipal masih diselimuti hutan belantara dan bukit. Fasilitas penunjang hidup di sana sangat terbatas. Aliran listrik masih minim di wilayah itu. Penduduk kadang menghidupkan diesel generator (genset) berbahan bakar solar untuk menyalakan listrik di malam hari. Adapun siang harinya, mereka harus berhemat dengan cara memanfaatkan cahaya matahari sebagai penerangan.

Tak hanya itu, keterbatasan lain seperti akses jalan lekat dialami penduduk setiap harinya. Ongkos ke pusat kota di Kabupaten Malinau pun mahal. Mereka harus membakar solar hingga 200 liter untuk menyalakan mesin diesel agar perahu melaju. Kondisi itu secara tak langsung mengancam kedaulatan Indonesia. Sebab, mayoritas penduduk lebih memilih berangkat ke Malaysia untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari ketimbang pergi ke Malinau.

Perlu diingat bahwa Sumantipal merupakan wilayah yang pernah diklaim menjadi milik Malaysia. Ia masuk dalam kategori wilayah saling klaim alias outstanding boundary problem (OBP) antara Indonesia dan Malaysia. Mulanya batas itu adalah peninggalan damarkasi wilayah Inggris dan Belanda di Kalimantan. Pada 1891 dan 1928, mereka berunding menentukan batas wilayah. Dilanjutkan oleh Indonesia dan Malaysia pada 1975 untuk pemasangan pilar-pilar batas. Namun sebagian wilayah masih menjadi sengketa termasuk Sumantipal.

Warga Sumantipal sangat menunggu perhatian pemerintah Indonesia sampai detik ini. Salah satunya di bidang pembangunan energi listrik. Harapan masyarakat di sana bukan tanpa alasan. Salah satu warga yang saya temui dulu bernama Julius, 33 tahun, pernah mengklaim mendapat perhatian lebih dari Malaysia. Misalnya bantuan biaya hidup, kemudahan membeli barang kebutuhan pokok, hingga tawaran mendapatkan kewarganegaraan Malaysia. Meski hal itu ditepis oleh Duta Besar Malaysia untuk Indonesia kala itu, Datuk Seri Zahrain Mohamed Hashim.

Pembangunan Pembangkit Listrik Harus Jadi Prioritas

Julius bahkan mengancam akan membelot jika tak ada kepedulian dari pemerintah Indonesia. “Kalau tidak diperhatikan, kami akan angkat kaki ke Malaysia,” kata Julius yang masih saya ingat sampai sekarang. Menurut saya, suara bernada tinggi Julius tersebut mewakili mayoritas warga di perbatasan Kalimantan. Betapa tidak, saya merasakan keterbatasan itu nyata dialami warga Sumantipal. Namun mereka masih punya nasionalisme tinggi ketika diminta memilih kewarganegaraan. Kondisi ini adalah sinyal yang harus ditangkap oleh pemerintah pusat dengan kebijakan prioritas pembangunan energi di perbatasan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Sumantipal termasuk dalam 306 desa di Kalimantan Utara yang belum menikmati aliran listrik. Padahal potensi sumber daya alam melimpah di tanah tersebut. Menurut saya, potensi energi mikro hidro di daerah tersebut perlu dioptimalkan karena banyaknya sungai yang bisa menjadi sumber energi. Salah satunya Sungai Sembakung.

Kajian dari Bappenas pada lima tahun lalu menyebutkan potensi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Sungai Sembakung, Kalimantan Utara mencapai 500 kW. Dalam kajian serupa tentang Identifikasi Potensi Energi Mikro Hidro menyatakan sungai-sungai yang terletak di Malinau menyimpan potensi 1028,5 kW. Belum lagi sungai yang terletak di Kabupaten Bulungan memiliki potensi sebesar 1091,6 kW.

Dalam skala yang lebih besar, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah itu juga bisa menghasilkan ratusan megaWatt. Kementerian ESDM dalam Rencana Umum Energi Nasional mengungkapkan rencana penyediaan PLTA hingga 2025 di Kalimantan Utara sebesar 220 megaWatt. Bahkan salah satu perusahaan bidang energi asal Cina yang berancana mengembangkan proyek PLTA Sungai Sembakung memproyeksikan tahap awal pembangunan akan menghasilkan listrik 250 megaWatt. Oleh karena itu, jangan sampai kita terlambat mengambil langkah demi kedaulatan negara dan energi.

Berburu Rumah Impian di Tengah Pandemi


Oleh: Danang Firmanto

DSC_7327

Pekerja bangunan tengah memplester dinding rumah di perumahan kawasan Pasar Kemis, Tangerang pada Sabtu, 18 Juli 2020. Foto/Danang Firmanto

Tak selamanya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia dianggap sebagai mimpi buruk. Sebagai salah satu orang yang terdampak, saya mencoba mengambil sisi positif dari peristiwa ini. Kebijakan Work From Home (WFH) dan anjuran untuk tetap di rumah saja (stay at home) yang kemarin gencar dilakukan justru menguatkan niat saya segera memiliki rumah pertama. Bagaimana tidak, WFH dan ajakan stay at home membuat saya merasa terkurung di dalam satu kamar kost. Selain bosan, rasa penat pun memuncak lantaran tak bisa leluasa beraktivitas.

Saya merupakan satu dari sekian ribu perantau yang saat ini bekerja di Tangerang. Pada 2015 lalu setelah lulus kuliah, saya bertekad ingin hidup mandiri dengan melamar pekerjaan di luar tempat tinggal di Yogyakarta. Februari 2015 saya diterima di salah satu perusahaan di Jakarta dan memulai kehidupan baru sebagai perantau sekaligus anak kost. Sempat berpindah tempat kerja pada Agustus 2015, saya tetap tinggal di kost-kostan. Penghasilan yang masih di angka upah minimum regional (UMR) menyurutkan niat memiliki rumah. Sebab, untuk biaya hidup di Ibu Kota saja rasanya sudah pas-pasan. Apalagi harus menanggung cicilan rumah setiap bulannya.

Tahun ketiga menjadi perantau dan anak kost membuat saya semakin berniat memiliki rumah. Sebab, tinggal hanya dalam satu kamar kost tidak akan nyaman dalam waktu lama. Akan tetapi, melihat kondisi keuangan antara pemasukan dan pengeluaran saat itu rasanya belum juga cukup untuk membayar uang muka dan biaya lainnya. Kondisi demikian lagi-lagi membuat nyali saya menciut. Pada akhir 2018 saya mencoba peruntungan dengan berpindah kerja ke Tangerang. Alhasil, di pekerjaan sekarang ini memungkinkan saya mulai menabung sedikit demi sedikit agar impian memiliki griya pertama bisa terwujud.

Meski begitu, tantangan baru muncul saat saya sudah membulatkan tekad ingin memiliki rumah. Di awal Maret 2020, pemerintah mengumumkan kasus pertama warga negara Indonesia positif terpapar Covid-19. Semenjak itu, kasus-kasus baru Covid-19 terus bermunculan di daerah. Kondisi perekonomian lantas perlahan kian memburuk. Ribuan orang terkena pemutusan hubungan kerja dan pemotongan gaji karyawan terjadi di hampir semua industri terdampak corona. Termasuk penjualan properti menjadi lesu akibat virus yang sudah menjadi pandemi di dunia.

Namun, saya tetap optimistis karena pemerintah terus berupaya memulihkan keadaan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah mengalokasikan anggaran stimulus fiskal subsidi perumahan sebesar Rp 1,5 triliun untuk 175.000 rumah tangga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui proses Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Bentuknya adalah Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM). CNN Indonesia menambahkan bahwa Kementerian tersebut pun telah menyalurkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) senilai Rp 7,78 triliun per 13 Juli 2020 untuk membiayai 76.834 unit rumah. Belum lagi perbankan juga mulai berlomba memberikan keringanan tingkat bunga serta kemudahan proses KPR.

Semenjak dilakukan kebijakan WFH oleh perusahaan dan anjuran stay at home, saya mulai berburu informasi perumahan berbekal kuota internet. Ternyata betul, mayoritas pengembang perumahan saling menawarkan program kemudahan. Mulai dari diskon harga, tanpa uang muka, bonus, undian berhadiah, hingga gratis biaya KPR dan surat-surat. Selain itu saya juga mengumpulkan beberapa brosur rumah lengkap dengan harga, skema cicilan dan siteplan setiap pengembang (developer). Hitung-hitung jadi kesibukan lain di samping WFH agar tak jenuh selama berada di dalam kamar.

DSC_7344

Rumah yang sudah selesai dibangun di perumahan kawasan Pasar Kemis, Tangerang. Foto/Danang Firmanto

Pertimbangkan Matang sebelum Memilih

Sebelum memutuskan lebih lanjut, saya mempunyai beberapa pertimbangan dalam memilih rumah. Mungkin alasan ini juga relevan Anda gunakan ketika pertama kali ingin memiliki rumah. Pertama adalah masalah budget. Ketersediaan dana menjadi faktor penting dalam rencana membeli rumah. Sebab, di awal pembelian rumah umumnya pengembang akan memberikan batas uang muka misalnya minimal 5 persen dari harga jual rumah. Maka dana awal uang muka harus disiapkan meskipun dari developer akan memberikan pilihan cicilan uang muka.

Kedua adalah orientasi atau tujuan membeli rumah apakah untuk dihuni atau sebagai investasi. Saya memilih opsi pertama yaitu membeli rumah untuk dihuni. Aspek penting lainnya adalah perihal jarak antara tempat kerja dan rumah yang akan dibeli. Bagi saya, maksimal waktu yang ditempuh apabila menggunakan kendaraan pribadi menuju ke lokasi kerja adalah 1 jam. Semakin jauh jarak rumah dengan tempat kerja berpotensi membuat kita merasa letih di perjalanan. Efeknya adalah kita menjadi kurang bersemangat sesampainya di tempat kerja.

Ketiga adalah besaran penghasilan dengan nilai cicilan setiap bulan apabila ingin membeli rumah secara kredit. Saya sepakat bahwa paling aman adalah ketika nilai cicilan rumah setiap bulannya sebesar sepertiga dari penghasilan. Artinya masih ada uang untuk konsumsi dan investasi. Di samping itu, juga harus diperhatikan periode waktu cicilan rumah. Jangan sampai memilih masa kredit rumah melebihi dari kemampuan dan usia produktif kita.

Terakhir adalah fasilitas yang ditawarkan oleh pengembang perumahan. Saya termasuk orang yang menginginkan tinggal dekat dengan fasilitas umum dan keramaian. Selain mempermudah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harga rumah yang terletak di dekat fasilitas umum akan lebih cepat naik. Perlu diperhatikan juga faktor pendukung lainnya seperti desain rumah. Menurut saya hal itu penting karena akan mempengaruhi kenyamanan orang yang menempati.

Setelah mempertimbangkan kriteria di atas saya pun mulai menyurvei sedikitnya 5 pengembang perumahan di Tangerang pada Mei-Juni lalu. Hampir setiap akhir pekan saya mendatangi satu per satu lokasi perumahan untuk melihat konsep bangunan sekaligus menanyakan lebih detail informasi yang tertera pada brosur. Ada rumah yang memang sudah siap dihuni namun ada pula yang harus indent hingga maksimal 2 tahun.

Pada pertengahan Juli lalu saya akhirnya menjatuhkan pilihan pada rumah model cluster tipe 33/60m2 dengan desain modern. Hunian minimalis itu dibangun salah satu pengembang perumahan di Pasar Kemis, Tangerang. Letaknya tak begitu jauh dari tempat kerja. Sekitar 25 kilometer atau 45 menit jika ditempuh menggunakan kendaraan pribadi. Tanpa menunggu lama, semua berkas persyaratan pengajuan pembelian rumah diserahkan ke developer. Saat ini proses pengajuan masih dalam tahap penilaian oleh pihak bank. Sementara rumah sudah mulai menunjukkan progres pembangunan. Semoga pandemi Covid-19 yang masih berlangsung ini tak menjadi penghalang bagi saya dan yang lainnya untuk meraih mimpi rumah pertama.